Scene Punk/Hardcore/Brit/Indie Pop
Invasi
musik grunge/alternative dan dirilisnya album Kiss This dari Sex
Pistols pada tahun 1992 ternyata cukup menjadi trigger yang ampuh dalam
melahirkan band-band baru yang tidak memainkan musik metal. Misalnya
saja band Pestol Aer dari komunitas Young Offender yang diawal kiprahnya
sering meng-cover lagu-lagu Sex Pistols lengkap dengan dress-up punk
dan haircut mohawknya. Uniknya, pada perjalanan selanjutnya, sekitar
tahun 1994, Pestol Aer kemudian mengubah arah musik mereka menjadi band
yang mengusung genre british/indie pop ala The Stone Roses. Konon,
peristiwa historik ini kemudian menjadi momen yang cukup signifikan bagi
perkembangan scene british/indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di
pertengahan 1997 mereka sempat merilis album debut bertitel `…Jang
Doeloe’. Generasi awal dari scene brit pop ini antara lain adalah band
Rumahsakit, Wondergel, Planet Bumi, Orange, Jellyfish, Jepit Rambut,
Room-V, Parklife hingga Death Goes To The Disco.
Pestol
Aer memang bukan band punk pertama, ibukota ini di tahun 1989 sempat
melahirkan band punk/hardcore pionir Antiseptic yang kerap memainkan
nomor-nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI sampai Sex Pistols.
Lukman (Waiting Room/The Superglad) dan Robin (Sucker Head/Noxa) adalah
alumnus band ini juga. Selain sering manggung di Jakarta, Antiseptic
juga sempat manggung di rockfest legendaris Bandung, Hullabaloo II pada
akhir 1994. Album debut Antiseptic sendiri yang bertitel `Finally’ baru
rilis delapan tahun kemudian (1997) secara D.I.Y. Ada juga band
alternatif seperti Ocean yang memainkan musik ala Jane’s Addiction dan
lainnya, sayangnya mereka tidak sempat merilis rekaman.
Selain
itu, di awal 1990, Jakarta juga mencetak band punk rock The Idiots yang
awalnya sering manggung meng-cover lagu-lagu The Exploited. Nggak jauh
berbeda dengan Antiseptic, baru sembilan tahun kemudian The Idiots
merilis album debut mereka yang bertitel `Living Comfort In Anarchy’ via
label indie Movement Records. Komunitas-komunitas punk/hardcore juga
menjamur di Jakarta pada era 90-an tersebut. Selain komunitas Young
Offender tadi, ada pula komunitas South Sex (SS) di kawasan Radio Dalam,
Subnormal di Kelapa Gading, Semi-People di Duren Sawit, Brotherhood di
Slipi, Locos di Blok M hingga SID Gank di Rawamangun.
Sementara
rilisan klasik dari scene punk/hardcore Jakarta adalah album kompilasi
Walk Together, Rock Together (Locos Enterprise) yang rilis awal 1997 dan
memuat singel antara lain dari band Youth Against Fascism, Anti Septic,
Straight Answer, Dirty Edge dan sebagainya. Album kompilasi
punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One, Still Proud (Movement
Records) yang berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots, Cryptical
Death hingga Out Of Control.
Bandung scene
Di
Bandung sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi
cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang
terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh
Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin
berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan
membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.” Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.
membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.” Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.
Band-band yang sempat
dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS
sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang
pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang
bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu
yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS
secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music
Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang
kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung,
Jakarta dan sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas
tak bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang
mengejutkan, kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari
album Best of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna.
Sementara itu Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu
pionir hardcore lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat
merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen
s/t (2000). Kemudian menyusul Pure Saturday dengan albumnya yang
self-titled. Album ini kemudian dibantu promosinya oleh Majalah Hai.
Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu
sebelum rilis albumnya.
Agak ke
timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang
menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas Ujung Berung.
Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak berjasa
membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten,
Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy,
Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit
fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine.
Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single
unik berjudul “Golok Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga
kali terbit dan kesemua materi isinya membahas band-band metal/hardcore
lokal maupun internasional.
Kemudian
taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas
dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan Trolley muncul
sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung dan juga
lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple berubah dari
pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang
umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis. Serunya di Bandung tak
hanya musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie popnya. Sejak Pure
Saturday muncul, berbagai band indie pop atau alternatif, seperti Cherry
Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga yang terkini seperti The Milo,
Mocca, Homogenic. Begitu pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh
sebelum trend ska besar. Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah
lama mengusung genre musik ini.
Siapapun
yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan
melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah
air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh
daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di `baptis’ di sini
belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung paling
legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal
seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah
penonton setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 –
7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga
fantastis segala oleh para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri
yang belum terpecahkan hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock
show underground.
Sempat dijuluki
sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang
merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi
kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia
saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie
hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari
kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali
teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan
di kota ini. Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple yang seakan
menjadi reinkarnasi Aktuil di jaman sekarang, tetap loyal memberikan
porsi terbesar liputannya bagi band-band indie lokal keren macam Koil,
Kubik, Balcony, The Bahamas, Blind To See, Rocket Rockers, The Milo,
Teenage Death Star, Komunal hingga The S.I.G.I.T. Coba cek webzine
Bandung, Death Rock Star (www.deathrockstar.tk) untuk membuktikannya.
Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya!
Jogjakarta Scene
Kota
pelajar adalah julukan formalnya, tapi siapa sangka kalau kota ini
ternyata juga menjadi salah satu scene rock underground terkuat di
Indonesia? Well, mari kita telusuri sedikit sejarahnya. Komunitas metal
underground Jogjakarta salah satunya adalah Jogja Corpsegrinder.
Komunitas ini sempat menerbitkan fanzine metal Human Waste, majalah
Megaton dan menggelar acara metal legendaris di sana, Jogja Brebeg.
Hingga kini acara tersebut sudah terselenggara sepuluh kali! Band-band
metal underground lawas dari kota ini antara lain Death Vomit, Mortal
Scream, Impurity, Brutal Corpse, Mystis, Ruction.
Untuk
scene punk/hardcore/industrial-nya yang bangkit sekitar awal 1997
tersebutlah nama Sabotage, Something Wrong, Noise For Violence, Black
Boots, DOM 65, Teknoshit hingga yang paling terkini, Endank Soekamti.
Sedangkan untuk scene indie rock/pop, beberapa nama yang patut di
highlight adalah Seek Six Sick, Bangkutaman, Strawberry’s Pop sampai The
Monophones. Selain itu, band ska paling keren yang pernah terlahir di
Indonesia, Shaggy Dog, juga berasal dari kota ini. Shaggy Dog yang kini
dikontrak EMI belakangan malah sedang asyik menggelar tur konser
keliling Eropa selama 3 bulan! Kota gudeg ini tercatat juga pernah
menggelar Parkinsound, sebuah festival musik elektronik yang pertama di
Indonesia. Parkinsound #3 yang diselenggarakan tanggal 6 Juli 2001 silam
di antaranya menampilkan Garden Of The Blind, Mock Me Not, Teknoshit,
Fucktory, Melancholic Bitch hingga
Mesin Jahat.
Mesin Jahat.
Surabaya Scene
Scene
underground rock di Surabaya bermula dengan semakin
tumbuh-berkembangnya band-band independen beraliran death
metal/grindcore sekitar pertengahan tahun 1995. Sejarah terbentuknya
berawal dari event Surabaya Expo (semacam Jakarta Fair di DKI – Red)
dimana band- band underground metal seperti, Slowdeath, Torture, Dry,
Venduzor, Bushido manggung di sebuah acara musik di event tersebut.
Setelah
event itu masing-masing band tersebut kemudian sepakat untuk mendirikan
sebuah organisasi yang bernama Independen. Base camp dari organisasi
yang tujuan dibentuknya sebagai wadah pemersatu serta sarana sosialisasi
informasi antar musisi/band underground metal ini waktu itu dipusatkan
di daerah Ngagel Mulyo atau tepatnya di studio milik band Retri Beauty
(band death metal dengan semua personelnya cewek, kini RIP – Red).
Anggota dari organisasi yang merupakan cikal bakal terbentuknya scene
underground metal di Surabaya ini memang sengaja dibatasi hanya sekitar
7-10 band saja.
Rencana pertama
Independen waktu itu adalah menggelar konser underground rock di Taman
Remaja, namun rencana ini ternyata gagal karena kesibukan melakukan
konsolidasi di dalam scene. Setelah semakin jelas dan mulai
berkembangnya scene underground metal di Surabaya pada akhir bulan
Desember 1997 organisasi Independen resmi dibubarkan. Upaya ini
dilakukan demi memperluas jaringan agar semakin tidak tersekat-sekat
atau menjadi terkotak-kotak komunitasnya.
Pada
masa-masa terakhir sebelum bubarnya organisasi Independen, divisi
record label mereka tercatat sempat merilis beberapa buah album milik
band-band death metal/grindcore Surabaya. Misalnya debut album milik
Slowdeath yang bertitel “From Mindless Enthusiasm to Sordid
Self-Destruction” (September 96), debut album Dry berjudul “Under The
Veil of Religion” (97), Brutal Torture “Carnal Abuse”, Wafat “Cemetery
of Celerage” hingga debut album milik Fear Inside yang bertitel
“Mindestruction”. Tahun-tahun berikutnya barulah underground metal di
Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan album milik Growl, Thandus, Holy
Terror, Kendath hingga Pejah.
Sebagai
ganti Independen kemudian dibentuklah Surabaya Underground Society
(S.U.S) tepat di malam tahun baru 1997 di kampus Universitas 45, saat
diselenggarakannya event AMUK I. Saat itu di Surabaya juga telah banyak
bermunculan band-band baru dengan aliran musik black metal. Salah satu
band death metal lama yaitu, Dry kemudian berpindah konsep musik seiring
dengan derasnya pengaruh musik black metal di Surabaya kala itu.
Hanya
bertahan kurang lebih beberapa bulan saja, S.U.S di tahun yang sama
dilanda perpecahan di dalamnya. Band-band yang beraliran black metal
kemudian berpisah untuk membentuk sebuah wadah baru bernama ARMY OF
DARKNESS yang memiliki basis lokasi di daerah Karang Rejo. Berbeda
dengan black metal, band-band death metal selanjutnya memutuskan tidak
ikut membentuk organisasi baru. Selanjutnya di bulan September 1997
digelar event AMUK II di IKIP Surabaya. Event ini kemudian mencatat
sejarah sendiri sebagai event paling sukses di Surabaya kala itu. 25
band death metal dan black metal tampil sejak pagi hingga sore hari dan
ditonton oleh kurang lebih 800 – 1000 orang. Arwah, band black metal
asal Bekasi juga turut tampil di even tersebut sebagai band undangan.
Scene
ekstrem metal di Surabaya pada masa itu lebih banyak didominasi oleh
band-band black metal dibandingkan band death metal/grindcore. Mereka
juga lebih intens dalam menggelar event-event musik black metal karena
banyaknya jumlah band black metal yang muncul. Tercatat kemudian event
black metal yang sukses digelar di Surabaya seperti ARMY OF DARKNESS I
dan II.
Tepat tanggal 1 Juni 1997
dibentuklah komunitas underground INFERNO 178 yang markasnya terletak di
daerah Dharma Husada (Jl. Prof. DR. Moestopo,Red). Di tempat yang agak
mirip dengan rumah-toko (Ruko) ini tercatat ada beberapa divisi usaha
yaitu, distro, studio musik, indie label, fanzine, warnet dan event
organizer untuk acara-acara underground di Surabaya. Event-event yang
pernah di gelar oleh INFERNO 178 antara lain adalah, STOP THE MADNESS,
TEGANGAN TINGGI I & II hingga BLUEKHUTUQ LIVE.
Band-band
underground rock yang kini bernaung di bawah bendera INFERNO 178 antara
lain, Slowdeath, The Sinners, Severe Carnage, System Sucks, Freecell,
Bluekuthuq dan sebagainya. Fanzine metal asal komunitas INFERNO 178,
Surabaya bernama POST MANGLED pertama kali terbit kala itu di event
TEGANGAN TINGGI I di kampus Unair dengan tampilnya band-band punk rock
dan metal. Acara ini tergolong kurang sukses karena pada waktu yang
bersamaan juga digelar sebuah event black metal. Sayangnya, hal ini juga
diikuti dengan mandegnya proses penggarapan POST MANGLED Zine yang
tidak kunjung mengeluarkan edisinya yang terbaru hingga kini.
Maka,
untuk mengantisipasi terjadinya stagnansi atau kesenjangan informasi di
dalam scene, lahirlah kemudian GARIS KERAS Newsletter yang terbit
pertama kali bulan Februari 1999. Newsletter dengan format fotokopian
yang memiliki jumlah 4 halaman itu banyak mengulas berbagai aktivitas
musik underground metal, punk hingga HC tak hanya di Surabaya saja
tetapi lebih luas lagi. Respon positif pun menurut mereka lebih banyak
datang justeru dari luar kota Surabaya itu sendiri. Entah mengapa,
menurut mereka publik underground rock di Surabaya kurang apresiatif dan
minim dukungannya terhadap publikasi independen macam fanzine atau
newsletter tersebut. Hingga akhir hayatnya GARIS KERAS Newsletter telah
menerbitkan edisinya hingga ke- 12.
Divisi
indie label dari INFERNO 178 paling tidak hingga sekitar 10 rilisan
album masih tetap menggunakan nama Independen sebagai nama label mereka.
Baru memasuki tahun 2000 yang lalu label INFERNO 178 Productions resmi
memproduksi album band punk tertua di Surabaya, The Sinners yang
berjudul “Ajang Kebencian”. Selanjutnya label INFERNO 178 ini akan lebih
berkonsentrasi untuk merilis produk- produk berkategori non-metal.
Sedangkan untuk label khusus death metal/brutal death/grindcore
dibentuklah kemudian Bloody Pigs Records oleh Samir (kini gitaris
TENGKORAK) dengan album kedua Slowdeath yang bertitel “Propaganda”
sebagai proyek pertamanya yang dibarengi pula dengan menggelar konser
promo tunggal Slowdeath di Café Flower sekitar bulan September 2000 lalu
yang dihadiri oleh 150- an penonton. Album ini sempat mencatat sold out
walau masih dalam jumlah terbatas saja. Ludes 200 keping tanpa sisa.
Malang Scene
Kota
berhawa dingin yang ditempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Surabaya
ini ternyata memiliki scene rock underground yang “panas” sejak awal
dekade 90-an. Tersebutlah nama Total Suffer Community(T.S.C) yang
menjadi motor penggerak bagi kebangkitan komunitas rock underground di
Malang sejak awal 1995. Anggota komunitas ini terdiri dari berbagai
macam musisi lintas-scene, namun dominasinya tetap
saja anak-anak metal. Konser rock underground yang pertama kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini. Acara bertajuk Parade Musik Underground tersebut digelar di Gedung Sasana Asih YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang seperti Bangkai (grindcore), Ritual Orchestra (black metal),Sekarat (death metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace (industrial
death metal), No Man’s Land (punk), The Babies (punk) dan juga band-band asal Surabaya, Slowdeath (grindcore) serta The Sinners (punk).
saja anak-anak metal. Konser rock underground yang pertama kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini. Acara bertajuk Parade Musik Underground tersebut digelar di Gedung Sasana Asih YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang seperti Bangkai (grindcore), Ritual Orchestra (black metal),Sekarat (death metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace (industrial
death metal), No Man’s Land (punk), The Babies (punk) dan juga band-band asal Surabaya, Slowdeath (grindcore) serta The Sinners (punk).
Beberapa
band Malang lainnya yang patut di beri kredit antara lain Keramat,
Perish, Genital Giblets, Santhet dan tentunya Rotten Corpse. Band yang
terakhir disebut malah menjadi pelopor style brutal death metal di
Indonesia. Album debut mereka yang bertitel “Maggot Sickness” saat itu
menggemparkan scene metal di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Bali
karena komposisinya yang solid dan kualitas rekamannya yang top notch.
Belakangan band ini pecah menjadi dua dan salah satu gitaris sekaligus
pendirinya, Adyth, hijrah ke Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota
inilah lahir untuk kedua kalinya fanzine musik di Indonesia. Namanya
Mindblast zine yang diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan
Samack pada akhir 1995. Afril sendiri merupakan eks-vokalis band
Grindpeace yang kini eksis di band crust-grind gawat, Extreme Decay.
Sementara indie label pionir yang hingga kini masih bertahan serta tetap
produktif merilis album di Malang adalah Confused Records
Bali Scene
Berbicara
scene underground di Bali kembali kita akan menemukan komunitas metal
sebagai pelopornya. Penggerak awalnya adalah komunitas 1921 Bali
Corpsegrinder di Denpasar. Ikut eksis di dalamnya antara lain, Dede
Suhita, Putra Pande, Age Grindcorner dan Sabdo Moelyo. Dede adalah
editor majalah metal Megaton yang terbit diJogjakarta, Putra Pande
adalah salah satu pionir webzine metal Indonesia Corpsegrinder (kini
Anorexia Orgasm) sejak 1998, Age adalah pengusaha distro yang pertama di
Bali dan Moel adalah gitaris/vokalis band death metal etnik, Eternal
Madness yang aktif menggelar konser underground di sana. Nama 1921
sebenarnya diambil dari durasi siaran program musik metal mingguan di
Radio Cassanova, Bali yang berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00
WITA.
Awal 1996 komunitas ini pecah
dan masing-masing individunya jalan sendiri-sendiri. Moel bersama EM
Enterprise pada tanggal 20 Oktober 1996 menggelar konser underground
besar pertama di Bali bernama Total Uyut di GOR Ngurah Rai, Denpasar.
Band-band Bali yang tampil diantaranya Eternal Madness, Superman Is
Dead, Pokoke, Lithium, Triple Punk, Phobia, Asmodius hingga Death
Chorus. Sementara band- band luar Balinya adalah Grausig, Betrayer
(Jakarta), Jasad, Dajjal, Sacrilegious, Total Riot (Bandung) dan Death
Vomit (Jogjakarta). Konser ini sukses menyedot sekitar 2000 orang
penonton dan hingga sekarang menjadi festival rock underground tahunan
di sana. Salah satu alumni Total Uyut yang sekarang sukses besar ke
seantero nusantara adalah band punk asal Kuta, Superman Is Dead. Mereka
malah menjadi band punk pertama di Indonesia yang dikontrak 6 album oleh
Sony Music Indonesia. Band-band indie Bali masa kini yang stand out di
antaranya adalah Navicula, Postmen, The Brews, Telephone, Blod Shot Eyes
dan tentu saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis album ke
tiga mereka dalam waktu dekat.
Memasuki
era 2000-an scene indie Bali semakin menggeliat. Kesuksesan S.I.D
memberi inspirasi bagi band-band Bali lainnya untuk berusaha lebih keras
lagi, toh S.I.D secara konkret sudah membuktikan kalau band `putera
daerah’ pun sanggup menaklukan kejamnya industri musik ibukota. Untuk
mendukung band-band Bali, drummer S.I.D, Jerinx dan beberapa kawannya
kemudian membuka The Maximmum Rock N’ Roll Monarchy (The Max), sebuah
pub musik yang berada di jalan Poppies, Kuta. Seringkali diadakan acara
rock reguler di tempat ini.
Indie Indonesia Era 2000-an
Bagaimana
pergerakan scene musik independen Indonesia era 2000-an? Kehadiran
teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi
perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka
lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin luas di
Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan
dengan menawarkan style musik yang lebih beragam. Trend indie label
berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan,
minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan
tahun ke depan.
Yang menarik
sekarang adalah dominasi penggunaan idiom `indie’ dan bukan underground
untuk mendefinisikan sebuah scene musik non- mainstream lokal. Sempat
terjadi polemik dan perdebatan klasikmengenai istilah `indie atau
underground’ ini di tanah air. Sebagian orang memandang istilah
`underground’ semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak
band-band underground yang `sell-out’, entah itu dikontrak major label,
mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual
album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang
menggunakan idiom indie karena lebih `elastis’ dan misalnya, lebih
friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem.
Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga
semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh meninggalkan
istilah ortodoks `underground’ itu tadi.
Ditengah
serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label,
ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis
album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia.
Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari
hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi
indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas
mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi `panglima’ sekarang ini.